Watulawang

Ketika Rei sudah tidak lagi dibutuhkan

----- Original Message ----
From: rgs_afc <aikidofinancialclub@gmail.com>
To: Groups YIA <yayasan_indonesia_aikikai@yahoogroups.com>
Sent: Friday, October 5, 2007 12:21:00 PM
Subject: [yayasan_indonesia_aikikai] Ketika Rei sudah tidak lagi dibutuhkan

Subjek judul tadi sekilas lewat di pikiran saya, yang langsung bertanya apa jadinya ketika Rei sudah tidak lagi diperlukan?

Ketika seseorang akan memasuki dojo [ruangan berlatih] biasanya orang ini dalam posisi berdiri akan menundukkan setengah badan dan memberikan hormat. Juga ketika akan masuk ke tatami, akan memulai berpasangan untuk berlatihan, juga setelah selesai berpasangan, mereka akan melakukan Rei dalam posisi seiza [duduk / ala Jepang ; baca : ala Aikido]. Demikian pula ketika seorang instruktur yang memanggil muridnya untuk maju ke depan, ketika akan memberikan contoh teknik, si-instruktur [guru] akan memulai terlebih dahulu dengan rei dalam posisi seiza, dan setelah si-instruktur selesai memberikan contoh, dia akan menutup dengan rei dalam posisi seiza kembali. Sadar atau tidak sadar, sesungguhnya gerakan terbanyak ketika kita latihan didojo adalah gerakan REI yaitu gerakan memberikan penghormatan dengan menunduk dalam posisi seiza atau duduk, coba deh amati dan hitung berapa kali anda melakukan rei dibanding melakukan teknik.

Jika kita renungkan apa sih makna rei menurut pemahaman sehari-hari ketika berlatih Aikido? Rei adalah suatu bentuk penghormatan, permohonan, permintaan yang dilakukan dengan sungguh-sungguh dari hati yang tulus dan penuh komitment dari si-pelaku REI kepada orang lain [teman pasangan berlatih,baik junior,senior, maupun kepada instruktur ataupun shihan].

Sikap Rei bisa juga implementasi pemberian sikap hormat kepada dojo tempat berlatih... pengertian ini bukan dalam makna religius yaitu untuk mendewakan atau menganggap tempat yg sakral atau kudus..... karena menurut saya adalah logis apabila kita menghormati suatu tempat, misalkan dojo, ruang kerja, kamar mandi, tempat tidur, maka jika kita hormati dan memperlakukan / merawat dengan cara yang baik, maka "tempat" itu akan memberikan respon positif pula kepada kita yang menggunakannya.

Di Aikido itu sendiri makna Rei menuntut kepada pelakunya untuk memberikan penghormatan kepada Alam Semesta [Universe] dan sesama manusia, tapi saya belum sanggup ngebahas di lingkup ini, jadi biar ulasan ga makin berantakan, kita batasin saja makna rei kepada sesama Aikidoka saja yah.

Dalam praktek sekarang, makna rei sudah mengalami kemunduran, yaitu terlihat dari adanya rei yang dilakukan asal-asalan atau setengah hati, seperti rei yang dilakukan sekedarnya saja yaitu

  1. kedua orang yg berpasangan dilakukan dalam posisi berdiri, lalu membungkukkan badan dengan asal menunduk & memberi hormat sambil mengucap onengashimas asal-asalan. ... atau ekstrimnya

  2. salah satu melakukan rei dalam posisi seiza dan pasangan lain memberikan rei [hormat] dalam posisi berdiri... nah seru kan.. terlihat seperti seseorang yang menyembah kepada orang lain. Posisi rei seperti ini adalah salah, karena sebaiknya rei dilakukan oleh 2 orang dalam posisi seiza [duduk].

Kegunaan kita berdisiplin melakukan sikap rei, akan menciptakan profile manusia yang senantiasa & selalu berkenan memberikan hormat yang mendalam kepada orang lain, dengan penuh ketulusan hati dan penuh komitment... . baik terhdap sesama aikidoka ataupun dalam kehidupan interaksi sosial sehari-hari.

Rei tetap harus diberikan kepada setiap orang dalam berpasangan [interaksi] walaupun kita tidak menyukai pasangan berlatih... dampak positifnya hal ini akan menciptakan aikido-ka yg low-profile walau dia telah mencapai tingkat yang tinggi sekalipun, karena penghormatan dengan cara rei harus tetap diberikan kepada senior maupun junior ataupun anggota baru sekalipun.

Dengan memupuk kedisiplinan rei sejak dini, maka pemberian rasa hormat akan tidak "menjadi-mahal atau bukan barang import" dan keharmonisan akan sangat mudah tercipta.

Sebaliknya, ketika penghormatan melalui sikap rei ini sudah sering diabaikan, sesungguhnya sikap ini akan menciptakan sikap :

  1. "mencoreng" kehormatan pribadi dari orang yang mengabaikan rei itu sendiri ; yang berdampak lebih lanjut yaitu

  2. si-pelaku akan pula meremehkan teknik atau gerak yang dilakukannya sendiri [sehingga teknik yang dilakukan tidak berkualitas / berbobot], dengan dampak luas yaitu

  3. lahirnya sikap ketiadaan penghormatan terhadap pasangan berlatih [seperti mengunci sekenanya saja, membanting se-enaknya saja tanpa memikirkan kehati-hatian dan keselamatan si-uke]

  4. dampak ekstrim dari ketiadaan rei, maka orang ini sangat mudah menghina atau menyalahkan teknik sesama aikido-ka baik kepada yg junior maupun kepada yg senior... dan cepat tersinggung apabila mendapat koreksi ketika berlatih.

  5. Keberhasilan mengabaikan rei dalam kehidupan sehari-hari akan muncul kegemaran "menggosip, mencemooh, menghakimi" seseorang telah berperilaku salah sesuai takaran pemikirannya sendiri.....

Apa sih ukuran REI yang harus kita perhatikan ?

Jawaban ini bisa beraneka ragam, saya mencoba menyimpulkan ukuran rei dengan penuh kesalahan disana-sini, yang mungkin masih memerlukan koreksi dari rekan sejawat aikido baik yg senior maupun yang junior..... antara lain

  1. adanya makna permohonan [meminta] kepada teman agar berkenan untuk berpasangan

  2. permohonan ini lahir dari hati yang mendalam dan penuh komitment atau sungguh-sungguh seperti : "saya memohon kepada anda agar berkenan berlatih dengan saya"....

  3. kesungguhan hati dan komitment ini diwujudkan atau diajukan [diminta] dengan segala kerendahan hati, hal ini diwujudkan dalam posisi duduk [rendah] dan kemudian disertai dengan sikap menunduk....

Ketika ketiga unsur ini benar-benar kita lakukan, niscaya "kesejukan" berpasangan akan dirasakan oleh pasangan berlatih kita ketika kita melakukan teknik sekeras atau secepat apapun, karena suatu teknik yang diawali dengan sikap rei yang benar, biasanya tidak akan menciptakan cidera atau timbulnya rasa sakit yang tidak perlu bagi rekan/teman berlatih.

Sikap/perilaku seorang aikidoka yang baik bukan diukur dari adanya kemampuan teknik yang baik, punya banyak murid yang banyak, bisa berceloteh sana-sini mengenai aikido. Seorang Aikidoka yang baik terukur dari sikap rasa saling menghormati terhadap sesama manusia, dan rasa menghormati terhadap teknik Aikido itu sendiri..... . dan sebagai penutup, apakah kita masih memerlukan rei atau tidak, itu adalah pilihan anda sendiri apakah anda akan menghormat diri sendiri dan orang lain atau tidak?

selamat berdiskusi, jika tulisan ini kurang berkenan, mohon kritisi dan saran.

rgs [anggota aikido biasa].


PRINSIP TEHNIK AIKIDO

Oleh: Bambang Ali Utomo

Praktisi aikido, dojo Solo Aikido, phone: (0271) 7087 571



1. Latar Belakang Prinsip Tehnik Aikido

Aikido adalah bela diri yang secara konsep filosofis mencari harmoni dengan penyerang atau lawan. Oleh karena itu secara strategi tehnik, aikido menghindari konfrontasi dengan tenaga lawan secara frontal. Ada beberapa alasan yang mendasari strategi ini, pertama adalah bahwa konfrontasi tenaga dengan penyerang secara langsung akan mengadu semua potensi pembelaan diri dengan penyerangnya, sehingga siapa yang kuat maka ia yang akan unggul. Kedua, dari segi penggunaan sumber daya pembelaa diri, meskipun jika pembela diri memiliki kekuatan dan tehnik yang superior di banding penyerangnya, maka adu kekuatan lebih merupakan pemborosan sumber daya pembelaan diri baik berupa kekuatan fisik dan tenaga. Yang ketiga, adu tenaga jelas merupakan kompetisi untuk mendapatkan kemenangan, dan lebih cenderung menghancurkan lawan. Aikido bukan bela diri yang berinisiatif menghancurkan lawan. Karena secara filosofis, aikido bertujuan untuk memecahkan konflik fisik dengan sangat menghindari cidera pada lawan, maka aikido cenderung mencari cara yang lebih efektif untuk melumpuhkan lawan, bukan menghancurkan.



2. Prinsip Tehnik Aikido

Berdasar alasan dan motivasi pembelaan diri di atas, secara tehnik, aikido mempunyai dua prinsip dasar dalam menghadapi serangan. Pertama adalah dengan melumpuhkan serangan ketika serangan potensinya masih kecil, atau, yang kedua, mengalirkan serangan, ketika potensi serangan sudah penuh dan energinya akan terlalu besar jika harus dihadang.

Strategi pertama, melumpuhkan serangan ketika masih kecil potensinya, tercermin dalam prinsip ikkyo, atau prinsip “pertama”. Prinsip ikkyo, bukan hanya berarti tehnik kuncian yang pertama dalam aikido, yakni tehnik kuncian ikkyo. Prinsip ini adalah strategi untuk segera mengunci potensi serangan ketika serangan baru saja meluncur dan belum mencapai kekuatan penuh. Dengan mengunci potensi penyerangan yang masih amat dini, hanya diperlukan sedikit tenaga untuk melumpuhkan serangan, di banding ketika serangan tersebut telah mencapai puncaknya hingga seratus persen, maka menghadang atau melalukan blocking akan sangat beresiko untuk adu tenaga.

Strategi pertama, atau ikkyo, ini menjadi fondasi dasar aikido ketika seorang praktisi belajar aikido dari pertama kali. Strategi ikkyo, pertama kali di latih dengan kuncian ikkyo, misalnya, kuncian ikkyo diaplikasi untuk melumpuhkan serangan shomenuchi, -- yang secara tehnis dalam latihan aikido dinamakan waza shomenuchi-nikkyo. Sebagai gambaran, ketika serangan shomenuchi meluncur belum hingga 100 persen kekuatannya, tehnik kuncian ikkyo sudah harus segera bekerja untuk melumpuhkan serangan. Apabila tehnik kuncian ikkyo terlambat di-eksekusi, setelah serangan tersebut sampai dengan kekuatan maksimal, maka yang terjadi adalah blocking, penghadangan terhadap laju serangan. Dari segi pembelaan diri, Ini akan sangat beresiko, dari segi keselamatan pembela diri, maupun resiko beradu kekuatan secara langsung dengan serangan.

Ketika prinsip ikkyo, atau prinsip “pertama” ini di pahami, melalui latihan waza kuncian ikkyo, maka ini bisa dipakai ke hampir semua tehnik aikido yang lain, terutama tehnik kuncian seperti tehnik nikkyo, sankyo, yonkyo, gokyo, juga pada tehnik semi banting seperti pada waza yokomenuchi sihonage -- ura, misalnya. Prinsip ikkyo ini kemudian juga bisa dipakai dalam banyak tehnik yang merespon serangan seperti pada tori-waza, baik dalam jenis serangan katate-tori, yrote-tori, morotetori, ushiro ryotetori, munadori dan katadori. Bahkan, prinsip ikkyo ini bisa diaplikasi strateginya dalam tehnik aiki-nage, dimana ketika uke meluncurkan serangan shomenuchi — meskipun sudah sepenuhnya meluncur, namun karena postur kaki penyerang (uke) belum sempat membentuk kuda-kuda akhir serangan yang kokoh ketika serangan benar-benar mendarat – dan di saat itu di hadang oleh tubuh nage dengan tiba-tiba. Apabila prinsip ikkyo, atau prinsip untuk melumpuhkan serangan ketika serangan masih berjalan, terlambat diaplikasi, ketika serangan tori-waza dengan kekuatan genggam (grip) telah benar-benar kuat potensinya, maka tehnik apapun dalam aikido akan terasa lebih berat untuk di eksekusi ketika serangan telah seratus persen memperoleh bentuknya.

Dari prinsip ikkyo, atau prinsip “pertama” inilah, pemahaman akan nagare-waza, atau tehnik aikido yang dieksekusi bersamaan dengan jalannya serangan, atau dengan istilah lain di sebut dengan “tehnik mengalir”, akan lebih mudah dimengerti. Nagare waza adalah perluasan strategi ikkyo, sehingga didapatkan efisiensi penggunaan tehnik aikido sedemikian rupa dari segi tenaga, strategi, dan sumber daya pembelaan diri.

Strategi aikido kedua, adalah mengalirkan serangan, tenaga, dan semua potensi serangan, ketika serangan tersebut mencapai puncak potensialnya. Sebagai gambaran, ketika seseorang ingin menghentikan kuda yang berlari kencang, maka tidak mungkin orang tersebut menahannya dari depan secara frintal untuk menghentikan laju si kuda yang tentunya memiliki kekuatan beratus kali lipat dari maksimal seorang manusia. Tentu akan ada cara yang lebih aman dan efisien, yakni berputar mengikuti arah lari si kuda, dan dari samping sisi si-kuda, orang tersebut bisa mengambil tali kekang kuda kemudian naik dan mengendalikan kuda tersebut dengan resiko yang minim.

Strategi mengalirkan serangan ini lebih gampang diamati pada banyak jenis tehnik nage-waza, dimana serangan dialirkan sedemikian rupa menjadi lemparan atau bantingan. Satu contoh yang sangat jelas bisa diambil dari tehnik shomenuchi irimi-nage. Irimi nage berasal dari tehnik aikijitsu daitoryu yang digunakan untuk mengalirkan tebasan pedang yang diarahkan tegak lurus ke arah kepala target serang. Serangan tebas dengan memakai pedang tentulah tenaganya tidak setengah-setengah, karena itu bila di blokade langsung akan sangat berbahaya bagi si pembela diri. Karena itu tehnik irimi-nage mengalirkan serangan, kekuatan dan arah tebasan dengan memutarkannya kemudian membalikkannya di saat yang tepat, sehingga serangan bisa dilumpuhkan dengan cara yang efisien, relatif lebih aman dan tidak menguras tenaga. Tehnik ini di-kemudian hari di adopsi oleh Morihei Ueshiba ke dalam sistem pembelaan diri aikido, yang sekarang di kenal juga dengan nama irimi-nage dalam aikido.

Di banyak waza, tehnik pengaliran juga dipakai dalam terminologi serangan lontar (shomenuchi, yokomenuchi, tsuki), dan juga dibanyak jenis serangan pegang-renggut (morotetori, ryotetori, katatetori, ushiro-ryotetori, munadari, munakatadori) yang kemudian diberi finishing akhir dengan nage-waza, seperti kaiten-nage, kokkyu-nage, irimi-nage, juji-garami, sumi-otoshi, koshi-nage, men-nage.

Dua strategi ini sangat prinsip dalam tehnik aikido, sehingga warna keduanya kental sekali dalam aplikasi di banyak tehnik aikido. Namun begitu ada juga fondasi dasar lain dibalik kedua strategi tersebut, yang menentukan tingkat keberhasilan eksekusi setiap tehnik aikido, yakni faktor timing.

Faktor timing adalah faktor “waktu yang tepat” dalam masuk ke pertahanan penyerang (uke), saat yang tepat untuk mendapatkan kontak dengan bagian tubuh uke – atau terhadap anatomi serangan sekaligus, dan saat yang tepat untuk mengeksekusi serangan atau saat yang tepat untuk memberikan seberapa besar kekuatan pembela diri pada tehnik yang dieksekusinya.

Faktor timing ini bisa pula dianggap sebagai ritme, atau nada, atau ketukan (dalam musik) yang harus dimengerti oleh setiap praktisi aikido (ataupun praktisi bela diri pada umumnya), karena faktor timing juga sangat menentukan berhasil tidaknya eksekusi tehnik aikido, setelah seorang praktisi memahami gerak-gerak dasarnya. Sebagai gambaran, penari tidak akan bisa menari tanpa ritme yang baik, seornag penyanyi tidak bisa menyanyi dengan bagus tanpa ukuran nada dan ketukan tertentu, bahkan untuk berjalan kaki sekalipun orang harus menggunakan irama supaya bisa berjalan kaki dengan sempurna.

Untuk memahami faktor timing dalam tehnik aikido, seorang praktisi terlebih dahulu harus mengerti gerakan aikido yang dilatihnya, setidaknya bentuknya ia sudah paham benar. Sesudah itu, praktisi aikido juga harus mengerti ritme gerak tubuhnya sendiri sewaktu ia melakukan gerak-gerak aikido. Faktor timing (ritme) bisa dimulai untuk dikenali dari saat praktisi aikido melakukan senaman pemanasan waktu latihan -- aiki-taiso dimana terdapat banyak gerakan fundamental di dalam aiki-taiso ini yang menunjang gerakan-gerakan waza aikido, dan dilanjutkan ke pengenalan ritme semua tehnik aikido yang dilatih oleh si praktisi.

Setelah praktisi mengenali ritme dirinya sendiri, praktisi juga harus bisa membaca ritme gerakan partnernya (uke) dalam latihan, sehingga si praktisi bisa memadukan ritme gerakan serangan (yang dilakukan oleh uke) dan juga ritme tehnik pembelaan diri aikido yang dilakukan dirinya. Pemahaman ritme antara diri sendiri (nage) dan pertner berlatih (uke) ini secara hakikat di sebut dengan musubi ( seringkali musubi salah kaprah dipahami sebagai “kerja-sama” – meskipun tidak sepenuhnya salah).

Musubi secara harafiah diartikan sebagai “simpul tali” atau “menali simpul” antara dua tali. Secara makna lugas, apabila dua tali di talikan dengan sebuah simpul, maka bila satu ujung tali dihentak, maka efeknya akan sampai ke ujung tali yang lain – dimana dua ujung tali tersebut menjadi perwakilan simbolis daru nage dan uke. Sebagian besar praktisi aikido menafsirkan bahwa musubi adalah kerja-sama yang dilakukan antara nage dan uke dalam berlatih aikido. Kerjasama ini dianggap perlu supaya sebuah tehnik bisa dieksekusi dengan baik dan indah. Hal ini sangat perlu ketika seorang praktisi masih belajar aikido di awal ia belajar aikido. Namun begitu, kerjasama tersebut tidak menjadi dasar pemahaman musubi, apabila dikaitkan dengan fakta bahwa bela diri bukan sebuah fenomena yang terbatas di dalam dojo dimana uke “harus” bersedia menurut untuk diberi eksekusi, sehingga uke hanya mengikuti skenario tehnik. Bela diri secara ideal merupakan fenomena di dalam dojo, dan diluar dojo yang di dasari ideologi tertentu, yang didalam aikido adalah harmoni dan cinta kasih. Dalam kondisi nyata, seorang penyerang (bukan uke di dalam dojo) tidak akan mau di suruh menurut “kamu harus begini, ketika saya melakukan tehnik ini”. Penyerang bergerak menurut inisiatifnya sendiri, dengan pola ragam gerak yang tidak selalu sama, sperti yang terlihat dalam dojo. Oleh karena itu seorang praktisi aikido harus mengerti bagaimana membaca ritme penyerang, sehingga praktisi bisa menyesuaikan ritme pembelaan dirinya dengan ritme serangan yang ditujukan kepadanya. Musubi lebih bisa dimaknai cara memahami diri sendiri dan juga memahami penyerang, sehingga praktisi bela diri mampu bertindak dengan waktu yang tepat untuk mengeksekusi tehnik aikido, tentu dnegan tidak meninggalkan ideologi aikido (harmoni dan cinta kasih) dalam upaya pembelaan dirinya. Hal inilah yang kemudian di simulasi untuk di latih di dalam dojo. Musubi dalam aikido mengarahkan praktisi untuk mencapai kunci kemenanganan atas diri sendiri, yang mana O’sensei sendiri memberi arahan tentang masakatsu agatsu -- kemenangan atas diri sendiri, dengan memahami perilaku diri sendiri, praktisi juga akan mampu memahami perilaku orang lain – dalam sudut-pandang sempit tehnik; adalah pola serangan penyerang, dalam sudut-pandang yang lebih luas; adalah kejiwaan penyerang. Karena, apabila secara prinsip lagi antara tehnik serangan dan tehnik pembelaan diri di tarik akar motivasinya dari sudut pandang diri penyerang dan pembela diri, semua tehnik berasal dari mental (mind). Serangan berasal dari hasrat hati seseorang yang direalisasikan dari kondisi mental ke pulsa otak dan kemudian diwujudkan dalam bentuk serangan fisik melalui seluruh anggota tubuh sebagai alat serang. Maka, pembelaan diri pun di mulai dari sisi kejiwaan, mental pembela diri, yang kemudian di salurkan melalui seluruh anggota tubuh sebagai potensi pembelaan diri.



Pemahaman akan ritme diri sendiri oleh seorang praktisi membutuhkan ketenangan mental dan kondisi mental yang benar dalam berlatih aikido yang kuat. Ini sangat diperlukan, karena apabila kondisi kejiwaan seseorang tidak tenang, maka semua gerak tubuhnya juga kacau. Kondisi gerak fisik, koordinasi anggota tubuh di pengaruhi secara langsung dan tidka langsung oleh kondisi mental.

Oleh karena itu, di luar sisi aikido sebagai bela diri fisik yang berisi gerakan-gerakan tehnik bela diri taktis, aikido bisa menjadi potensial untuk meningkatkan kondisi mental seseorang.



3. Kesimpulan

Sebagai kesimpulan, prinsip tehnik aikido terbagi menjadi dua dasar: yakni prinsip ikkyo, atau prinsip pertama; yang melumpuhkan serangan ketika serangan belum meluncur penuh – dan yang kedua adalah prinsip mengalirkan serangan, arah dan tenaga serangan; yakni ketika serangan telah benar-benar meluncur secara penuh. Kedua prinsip tehnik tersebut di landasi dengan kemampuan membaca ritme, atau faktor timing; yakni waktu yang tepat untuk melakukan tindakan, karena dengan memahami faktor timing ini praktisi akan bisa melakukan musubi dalam seni bela diri aikido.



Data Up.load Oleh,

Robaga Gautama Simanjuntak

http://advokat-rgsmitra.com/

Manifestasi Aikido

Terjemahan Tidak Resmi Oleh,

Bambang Ali

Milis : yayasan_indonesia_aikikai@yahoogroups.com

Tanggal : 6 April 2007, 9:58 PM

Subject:

[yayasan_indonesia_aikikai] Re: Mr. Bambang langsung terjemahkan ya:

The Use of Resistance in Aikido Trainin

Manfaat Perlawanan Dalam Aikido

Seorang siswa baru baru-baru ini mengirimi saya e-mail yang menanyakan apakah pantas jika dia melakukan perlawanan ketika berlatih aikido. Ini merupakan tema di banyak forum Aikido. Pertanyaan itu seringkali diajukan kepada saya oleh banyak siswa. Seringkali saya berharap untuk menulis jawabannya namun saya menyimpanya hingga siswa tersebut bertanya kepada saya. Sekarang saya jawab pertanyaan itu. Ini adalah balasan yang saya kirim padanya. Komentar ini mencerminkan budaya yang kita coba tanam pada dojo Budo. Komentar ini mungkin tidak mewakili budaya di dojo anda.

Pertanyaan serius ini memerlukan lebih dari satu jawaban. Ini merupakan pertanyaan yang bagus untuk ditanyakan. Di Aikido kita menggunakan istilah uke dan nage. Uke adalah orang yang memulai serangan.... nage adalah orang yang menerima serangan dan melempar atau menetraliasi uke. Uke menerima lemparan dan melakukan ukemi. Istilah uke mengacu pada si penerima, meskipun jelas bahwa kedua rekan tersebut saling menerima. Istilah nage mengacu pada pelempar meskipun responnya seringkali berupa kuncian (atau pelumpuhan) bukan lemparan.

Melakukan ukemi, atau menerima lemparan, adalah dari bersifat Yang menjadi bersifat Yin dalam pembelaan diri. Kamu menyerang, saya lempar kamu (pembelaan diri yin), kamu melakukan ukemi dan jatuhan sehingga kamu tidak cidera (pembelaan yang). Dengan kata lain ada dua sisi di satu mata uang, keduanya punya fungsi saling melindungi satu sama lain. Alias, Jika tidak melakukan ukemi yang baik maka bisa mengakibatkan cidera tubuh yang parah. Kita biasanya berfikir tentang bela diri sebagai pembelajaran untuk menerima serangan dan kemudian melempar atau mengunci orang lain. Untuk bisa menerima lemparan atau kuncian juga tidak kalah penting untuk keselamatan diri.

Baru saja saya belajar dari seorang pendiri dojo lokal yang baru saja pensiun permanen dari aikido. Tubuhnya terlalu renta untuk tetap berlatih.... apalagi mengajar. Dia sudah dekat dengan ajal. Kerentaan tubuhnya ini sebagai akibat berlatih untuk berkelahi bukannya berlatih untuk memecahkan masalah di Budo. Budo sejati mencakup perkembangan spiritual dan belajar untuk mendekati dan menghormati rekan anda bukannya berkelahi dengan penyerang anda. Hasil akhirnya adalah kondisi yang lebih tercerahkan dan budoka terampil (pendekar = terjemahan dari martial artist, ke ke ke....) yang bisa berlatih hingga renta usia, secara berkelanjutan menyempurnakan seninya selama bertahun-tahun. Sebaliknya, mengasah cara berkelahi membatasi kesempatan anda dan rekan anda untuk belajar gerakan yang baik dan buruk. Latihan menjadi olah tubuh untuk penyerangan, perlawanan, bertahan tak bergeming dan frustasi. Kata-kata tersebut bagi saya adalah antitesis dari seni bela diri. Jika tujuan anda adalah untuk menang di kejuaraan UFC ... anda berada di seni bela diri yang salah (comment; kalo dihajar kernet mikrolet di jalan gimana bosss?). Ini secara alami menimbulkan pertanyaan .... gimana kamu tahu jika seni bela diri yang kamu latih itu tak berguna jika kamu tidak bisa mengujinya melalui perlawanan fisik? (comment: jadi berlatihlah bela diri, soal di todong - ya nasib) Jawaban alaminya ... ya nggak bisa. Dimana ada tempat untuk perlawanan fisik dalam latihan kita? Trik....dan pertanyaan anda .... menentukan perbedaan antara tempat yang sesuai dan tempat yang salah.

Ini ada beberapa catatan untuk membantu membedakan dua tempat yang berbeda:

1. jangan pernah tolak kesempatan siswa lain untuk berhasil.boleh saja memberi beberapa perlawanan untuk menunjukkan kelemahan rekan anda dalam tehniknya. Namun jika anda menolak kesempatan rekan anda untuk bisa berhasil melakukan tehnik, maka anda menolak kesempatan mereka untuk pernah belajar tehnik (comment: lha kalau yang dikerjain senior gimana?). seperti halnya uke, pekerjaan anda adalah emmbantu rekan untuk belajar tehnik dengan anda. Kadang dengan melakukan ukemi yang baik akan membimbing rekan anda ke tempat yang sesuai untuk melakukan lemparan. Anda akan berterimakasih dengan sikap itu jika tehnik anda tidak bekerja dan siswa lain yang anda latih membantu anda menemukan gerakan yang pas.

2. jangan menilai tehnik lebih dari rekan anda. Dengan kata lain, jika anda harus memilih antara tehnik anda dan menyelamatkan rekan anda....anda harus selalu memilih menyelamatkan rekan anda. Ini terlihat penting, namun anda akan terkejut betapa kuatnya tendensi untuk supaya tehnik itu berhasil bagaimanapun caranya. Khususnya jika rekan anda menyusahkan anda. Berhati-hatilah dengan hal ini. Selalu pastikan anda tidak menyakiti rekan anda. Selalu pastikan rekan anda mempunyai tempat aman untuk jatuh.

3. Ingatlah selalu anda sedang mendaki sebuah gunung bersama dengan rekan anda yang lain di dojo dan hanya ada satu cara supaya berhasil yakni mendaki gunung bersamaan. Anda bantu orang lain dan gantian orang lain akan membantu anda, dan secara bersama-sama anda akan mencapai puncak.ini memerlukan sifat saling mendorong dan saling menghormati.jika pelatih meminta anda melakukan sesuatu atau membenarkan gerakan anda ... selalu berterimakasihlah.... Ada saat dimana anda merasa bahwa kritik tak bisa benarkan atau salah. Namun begitu, ucapkanlah terimakasih. Ini bukan tentang salah atau benar. Ini adalah tentang sikap yang benar dan rasa hormat terhadap dojo. Dengan merengkuh rasa hormat kepada dojo dan dalam kehidupan anda itulah pelajaran terpenting yang anda pernah pelajari. Dengan menunjukkan rasa hormat terhadap dojo akan menanamkan budaya saling menghormati di dojo dan menunjukkan dan menunjukkan baik guru dan sejawat anda memahami hal ini. Ini nantinya akan memberikan anda rasa hormat yang terbesar. Ini akan diikuti dengan rasa hormat dan menunjukkan rasa hormat kepada sejawat anda, baik senior atau yunior....karena mereka semua guru anda.

4. jika anda dipanggil untuk melakukan ukemi bagi pelatih anda, serangan haruslah kuat, sungguh-sunnguh dan masuk. Namun ini bukan waktu yang pantas untuk berkutat atau tak bergeming. Ini adalah waktu tempat pelatih memberi gambaran sebuah prinsip. Peran uke adalah sebagai saluran untuk mengkomunikasi-kan pelajaran secara efektif kepada para siswa. Ini bukan waktu untuk si uke.... ini bukan waktu untuk si pelatih .... ini adalah waktu untuk dojo. Dari sudut pandang saya sendiri ...saat saya sedang mengajar saya akan memilih uke yang bisa memberi gambaran terbaik tentang pengajaran saya. Jika saya tidak percaya respon si siwa untuk melakukan ukemi... saya tak akan menggunakan dia. Sederhana kan. Ini bukan pertanyaan apakah bisa saya melempar atau mengunci orang tersebut dnegan tehnik saya. Ini adalah bagaimana cara saya berkomunikasi dengan cara terbaik tentang hal yang saya ingin para siswa untuk mereka ketahui. Para siswa seringkali bangga ketika dipanggil untuk melakukan ukemi bagi pelatih. Mereka harus melakukannya. Ini bukanlah anggukan rasa hormat atau kepercayaan. Orang yang melakukan ukemi untuk senseinya selama kelas berjalan adalah siswa terbaik di kelas. Seorang siswa yang ingin menerima pengakuan dan rasa hormat harus mempraktikan ukemi yang baik.

5. jika anda berlatih dengan rekan dan anda atau rekan anda mengalami kesulitan dengan tehnik, ini waktu yang baik untuk bertanya pada instruktur untuk penjelasan atau saran. Jika anda melakukan ukemi untuk sensei anda selama pelatihan semi-privat ini, pantas bagi anda untuk melakukan serangan yang kuat. Tujuannya umumnya untuk menunjukkan cara menerima serangan yang kuat dan merespon serangan secara efektif, efisien, dan dnegan kekuatan fisik yang terbatas. Ini adalah tanggungjawab pelatih untuk bisa menerima serangan yang kuat dan memberi respon yang layak terhadap serangan. Namun, jangan lupa bahwa kepantasan ini bersifat relatif... dan serangan yang secara ekstrim agresif akan mengakibatkan respon yang ekstrim agresif pula. Ini kembali ke ide saling menghormati.

6. Bermain kekuatan haruslah dibatasi. Bukan dihilangkan....dibatasi. jika anda berlatih dengan siswa senior yang kuat dan mereka menunjukkan terbuka untuk berlatih lebih kuat... itu bagus dan pantas. Namun, para siswa seharusnya tidak berkutat di matras dengan menginterupsi orang lain yang berlatih dan seharusnya hanya sekitar satu menit saja. Setelah satu menit ... istirahat ... mulai lagi. Ini bukanlah kelas gulat. Tujuannya dan motivasinya seharusnya berbeda. Ini bukanlah sport....bukan pertarungan hidup dan mati. Ini adalah berlatih fisik dan spiritual budo.

7. kadangkala melakukan ukemi yang lembut dan tidak-melawan adalah pelajarannya. Dalam hal ini anda akan kehilangan pelajarannya jika anda melawan rekan anda. Belajarlah cara mencari nilai dalam jenis latihan ini. Belajarlah cara menjadi responsif terhadap rekan anda dengan cara yang ringan dan lembut untuk belajar ukemi yang baik.

8. Memang mudah lupa bahwa saat anda berlatih anda sudah tahu cara rekan anda akan melempar anda. Ini memberikan wawasan yang memudahkan anda untuk menahan tehnik rekan anda. Intinya, ini bukanlah saat untuk bermain hal seperti itu. Di tingkat lanjut latihan ini adalah pada kesempatan berlatih kaeshi waza (pembalikan tehnik) dan oyo henka waza (mengubah atau memodifikasi tehnik untuk supaya tehnik berjalan). Namun ini bukan tehnik kihon waza (dasar). Para pemula haruslah berfokus untuk belajar tehnik dasar karena ini menjadi dasar bagi latihan di masa yang akan datang. Ini kembali ke aturan awal ....jangan tolak kesempatan rekan anda untuk berhasil.

9. sisi sebaliknya adalah ketika anda menyerang rekan anda maka anda sedang memberikan memberikan diri anda kepada rekan anda. Anda harus percayakan kepada rekan anda bahwa dia tidak akan menyakiti anda... dan rekan anda harus mempertahankan kepercayaan tersebut. Tanpa saling mempercayai, latihan yang sungguh-sungguh dan bermanfaat tidak akan mungkin.

Naskah / sumber dari :

http://www.budodojo.com/ResistanceLetter.htm

dipublikasikan kembali oleh,

Wisman Tjiardy

On 4/3/07, Wisman Tjiardy wrote: Hi Teman-teman, saya menemukan artikel pas browsing Aikido Journal, kebetulan sekali masih ada hubungan dengan yang kita diskusikan kemarin. Semoga menarik bagi teman-teman juga :-)

The Use of Resistance in Aikido Training

A new student recently sent me an email asking me if it was appropriate for him to use resistance when training in our dojo. This has been the topic of numerous Aikido forums. The question's been posed to me many times by many students. I've often wished I'd written down the answer so I could just hand it to the next person that asks me. This time I did. Here's the reply I sent him. These comments reflect the culture we try to cultivate here at Budo Dojo.

This may not reflect the culture of your local dojo. This is a prickly question with more than one right answer. It's a good question to be asking. In aikido we use the terms nage and uke. Uke generally initiates the attack... nage receives the attack and throws or neutralizes uke... uke receives the throw and takes ukemi. The term uke refers to receiver as just described, although clearly both partners are receiving something. The term nage refers to throwing although the response is often a pin (or neutralization) rather than a throw.

Taking ukemi, or receiving a throw, is yang to the yin in self-defense. You attack, I throw you (defense yin), you take the ukemi and fall so that you don't get hurt (defense yang). In other words they're two sides of the same coin, both with a function of protecting oneself. Said differently, not taking good ukemi can result in horrific personal bodily damage. We always think of self-defense as learning to receive an attack and then throwing or pinning someone. Being able to gracefully receive the throw or pin is equally critical in self-preservation. I just learned that the co-founder of a prominent local aikido dojo has recently and permanently retired from aikido. His body is essentially too crippled to train anymore... or even teach. He's very close to my age. This premature crippling comes from training to fight rather than training to excel in budo. True budo involves growing spiritually and learning to embrace and respect your partners rather than fighting with your opponents.

The end result is a more enlightened and skillful budoka (martial artist) who can continue to train to a ripe old age, continually refining the art over many years.

On the other hand, practicing fighting limits the opportunity for you and your peers to learn both good and bad movement. Practice becomes an exercise in aggression, resistance, struggle, and frustration. These words are, to me, the antithesis of art. If your goal is to win the next UFC championship... you're in the wrong martial art. This naturally raises the question... how do you know if the martial art you're practicing is bullshit if you can't test it through physical resistance? The natural answer is... you can't. Which is why there is a place for physical resistance in our training. The trick... and the prickle of your question... is determining the difference between the right place and the wrong place.

Here are some notes to help differentiate the two places; Never deny another student an opportunity to succeed. It's okay to provide some resistance to show your partner the weakness in their technique. But if you deny the opportunity for your partner to successfully execute the technique altogether, then you've denied them an opportunity to ever learn the technique. As uke, it's your job to help your partner learn the technique with you. Sometimes taking good ukemi means helping lead your partner into the right place to execute the throw. You'll be grateful for that correct attitude when your technique isn't working and the other student you're training with helps you find the correct movement.

Never value the technique more than your partner. In other words, if you have to choose between succeeding in your technique or saving your partner... you must always choose saving your partner. This sounds obvious, but you'd be surprised how strong the urge can be to succeed in the technique no matter what. Especially if your partner is giving you a hard time. Be watchful for this. Always make sure you're not hurting your partner. Always make sure your partner has a safe place to fall.

Always remember you are climbing a mountain with everyone else in the dojo and that the only way to succeed is to climb the mountain together. You help the others and they in turn help you, and together you'll reach the summit. This requires mutual encouragement and respect. If an instructor tells you something or corrects your movement... always thank them. There may be times when you feel the critique is unjustified or simply wrong. Nonetheless, you thank them. It's not about being right or wrong... it's about correct attitude and respect in the dojo. Embracing respect in the dojo and in your life is the most important lesson you'll ever learn. Showing respect in the dojo cultivates a culture of mutual respect throughout the dojo and shows both your teachers and your peers that you understand this. This will in turn earn you the greatest respect. It follows therefore... respect and demonstrate respect to your peers, both senior and junior... because they are all your teachers.

If you are called up to take ukemi for the instructor the attack should be strong, sincere and committed. But it is not an appropriate time to wrestle or spar. This is the time when the instructor is trying to illustrate a principle. Uke's role is to be a conduit to effectively communicate the lesson at hand to the students.

This is not uke's time... this is not sensei's time... this is the dojo's time. Speaking for myself... when I'm teaching, I choose the

uke that I think will best illustrate my point. If I don't trust the response of how a student will take ukemi... I won't use them. It's that simple. It's not a question of can I throw or pin that person with this technique. It's a question of how can I best communicate what I want students to understand. Students often take pride in being called up to take ukemi for the instructor. They should. It's a nod of respect and trust. The people who take ukemi for sensei during class are the best students in the class. A student who wants to receive this form of recognition and respect must practice taking good ukemi.

If you are practicing with a partner and either you or your partner is having a difficult time with the technique it's a good time to ask the instructor for clarification and advice. If you take ukemi for sensei during this semi-private instruction, it is appropriate to be strong in your attack. The goal is generally to demonstrate how to receive a strong attack and respond efficiently, effectively, and with limited physical strength. It is the responsibility of the instructor to be able to receive a strong attack and respond appropriately to that attack. However, never forget that appropriate is relative...and an extremely aggressive attack may result in an extremely aggressive response. This comes back to the idea of mutual respect.

Horseplay should be limited. Not eliminated... but limited. If you're working with a strong senior student and they've indicated that they are open to playing stronger, harder and faster... that's fine and appropriate. However, students should not wrestle across the mat interrupting others training and it should not go on for more than 1 minute. After 1 minute... break.... start over. This isn't wrestling class. The goals and motivations should be different. It's not a sport.... it's not a death match. It's spiritual and physical training in budo.

Sometimes taking gentle and non-resistive ukemi is the lesson. In these cases you will be missing the lesson altogether if you resist your partner. Learn how to find the value in this kind of training as well. Learning how to be responsive to your partner in a light and gentle way is necessary to learn good ukemi.

It's easy to forget that when you're practicing you already know how you're partner will try to throw you. This provided insight can make it much easier to block your partner's technique. Essentially, it's not a level playing field. At advanced levels of training this is an opportunity to practice kaeshiwaza (reversals) and

oyo henka waza (modifying or changing techniques to make them work). This is, however, not kihon waza (basic technique). Beginners should focus on learning the basic technique because it's foundational to all future training. This goes back to the earlier rule... do not deny your partner an opportunity to succeed.

The flip side of this is that when you attack your partner you are giving yourself over to your partner. You have to trust that your partner will receive your attack as a gift that allows both of you to train. You have to trust that your partner will not hurt you... and your partner has to earn and retain that trust. Without that mutual trust sincere and beneficial training is impossible.

Read these notes carefully until you understand their meaning and intent.

Thanks for the asking this very important question - s e n s e i

http://asia.geocities.com/indonesia_aikikai_foundation/

Dipublikasikan via internet oleh,

http://aikikai-financial-club.com