Watulawang

PRINSIP TEHNIK AIKIDO

Oleh: Bambang Ali Utomo

Praktisi aikido, dojo Solo Aikido, phone: (0271) 7087 571



1. Latar Belakang Prinsip Tehnik Aikido

Aikido adalah bela diri yang secara konsep filosofis mencari harmoni dengan penyerang atau lawan. Oleh karena itu secara strategi tehnik, aikido menghindari konfrontasi dengan tenaga lawan secara frontal. Ada beberapa alasan yang mendasari strategi ini, pertama adalah bahwa konfrontasi tenaga dengan penyerang secara langsung akan mengadu semua potensi pembelaan diri dengan penyerangnya, sehingga siapa yang kuat maka ia yang akan unggul. Kedua, dari segi penggunaan sumber daya pembelaa diri, meskipun jika pembela diri memiliki kekuatan dan tehnik yang superior di banding penyerangnya, maka adu kekuatan lebih merupakan pemborosan sumber daya pembelaan diri baik berupa kekuatan fisik dan tenaga. Yang ketiga, adu tenaga jelas merupakan kompetisi untuk mendapatkan kemenangan, dan lebih cenderung menghancurkan lawan. Aikido bukan bela diri yang berinisiatif menghancurkan lawan. Karena secara filosofis, aikido bertujuan untuk memecahkan konflik fisik dengan sangat menghindari cidera pada lawan, maka aikido cenderung mencari cara yang lebih efektif untuk melumpuhkan lawan, bukan menghancurkan.



2. Prinsip Tehnik Aikido

Berdasar alasan dan motivasi pembelaan diri di atas, secara tehnik, aikido mempunyai dua prinsip dasar dalam menghadapi serangan. Pertama adalah dengan melumpuhkan serangan ketika serangan potensinya masih kecil, atau, yang kedua, mengalirkan serangan, ketika potensi serangan sudah penuh dan energinya akan terlalu besar jika harus dihadang.

Strategi pertama, melumpuhkan serangan ketika masih kecil potensinya, tercermin dalam prinsip ikkyo, atau prinsip “pertama”. Prinsip ikkyo, bukan hanya berarti tehnik kuncian yang pertama dalam aikido, yakni tehnik kuncian ikkyo. Prinsip ini adalah strategi untuk segera mengunci potensi serangan ketika serangan baru saja meluncur dan belum mencapai kekuatan penuh. Dengan mengunci potensi penyerangan yang masih amat dini, hanya diperlukan sedikit tenaga untuk melumpuhkan serangan, di banding ketika serangan tersebut telah mencapai puncaknya hingga seratus persen, maka menghadang atau melalukan blocking akan sangat beresiko untuk adu tenaga.

Strategi pertama, atau ikkyo, ini menjadi fondasi dasar aikido ketika seorang praktisi belajar aikido dari pertama kali. Strategi ikkyo, pertama kali di latih dengan kuncian ikkyo, misalnya, kuncian ikkyo diaplikasi untuk melumpuhkan serangan shomenuchi, -- yang secara tehnis dalam latihan aikido dinamakan waza shomenuchi-nikkyo. Sebagai gambaran, ketika serangan shomenuchi meluncur belum hingga 100 persen kekuatannya, tehnik kuncian ikkyo sudah harus segera bekerja untuk melumpuhkan serangan. Apabila tehnik kuncian ikkyo terlambat di-eksekusi, setelah serangan tersebut sampai dengan kekuatan maksimal, maka yang terjadi adalah blocking, penghadangan terhadap laju serangan. Dari segi pembelaan diri, Ini akan sangat beresiko, dari segi keselamatan pembela diri, maupun resiko beradu kekuatan secara langsung dengan serangan.

Ketika prinsip ikkyo, atau prinsip “pertama” ini di pahami, melalui latihan waza kuncian ikkyo, maka ini bisa dipakai ke hampir semua tehnik aikido yang lain, terutama tehnik kuncian seperti tehnik nikkyo, sankyo, yonkyo, gokyo, juga pada tehnik semi banting seperti pada waza yokomenuchi sihonage -- ura, misalnya. Prinsip ikkyo ini kemudian juga bisa dipakai dalam banyak tehnik yang merespon serangan seperti pada tori-waza, baik dalam jenis serangan katate-tori, yrote-tori, morotetori, ushiro ryotetori, munadori dan katadori. Bahkan, prinsip ikkyo ini bisa diaplikasi strateginya dalam tehnik aiki-nage, dimana ketika uke meluncurkan serangan shomenuchi — meskipun sudah sepenuhnya meluncur, namun karena postur kaki penyerang (uke) belum sempat membentuk kuda-kuda akhir serangan yang kokoh ketika serangan benar-benar mendarat – dan di saat itu di hadang oleh tubuh nage dengan tiba-tiba. Apabila prinsip ikkyo, atau prinsip untuk melumpuhkan serangan ketika serangan masih berjalan, terlambat diaplikasi, ketika serangan tori-waza dengan kekuatan genggam (grip) telah benar-benar kuat potensinya, maka tehnik apapun dalam aikido akan terasa lebih berat untuk di eksekusi ketika serangan telah seratus persen memperoleh bentuknya.

Dari prinsip ikkyo, atau prinsip “pertama” inilah, pemahaman akan nagare-waza, atau tehnik aikido yang dieksekusi bersamaan dengan jalannya serangan, atau dengan istilah lain di sebut dengan “tehnik mengalir”, akan lebih mudah dimengerti. Nagare waza adalah perluasan strategi ikkyo, sehingga didapatkan efisiensi penggunaan tehnik aikido sedemikian rupa dari segi tenaga, strategi, dan sumber daya pembelaan diri.

Strategi aikido kedua, adalah mengalirkan serangan, tenaga, dan semua potensi serangan, ketika serangan tersebut mencapai puncak potensialnya. Sebagai gambaran, ketika seseorang ingin menghentikan kuda yang berlari kencang, maka tidak mungkin orang tersebut menahannya dari depan secara frintal untuk menghentikan laju si kuda yang tentunya memiliki kekuatan beratus kali lipat dari maksimal seorang manusia. Tentu akan ada cara yang lebih aman dan efisien, yakni berputar mengikuti arah lari si kuda, dan dari samping sisi si-kuda, orang tersebut bisa mengambil tali kekang kuda kemudian naik dan mengendalikan kuda tersebut dengan resiko yang minim.

Strategi mengalirkan serangan ini lebih gampang diamati pada banyak jenis tehnik nage-waza, dimana serangan dialirkan sedemikian rupa menjadi lemparan atau bantingan. Satu contoh yang sangat jelas bisa diambil dari tehnik shomenuchi irimi-nage. Irimi nage berasal dari tehnik aikijitsu daitoryu yang digunakan untuk mengalirkan tebasan pedang yang diarahkan tegak lurus ke arah kepala target serang. Serangan tebas dengan memakai pedang tentulah tenaganya tidak setengah-setengah, karena itu bila di blokade langsung akan sangat berbahaya bagi si pembela diri. Karena itu tehnik irimi-nage mengalirkan serangan, kekuatan dan arah tebasan dengan memutarkannya kemudian membalikkannya di saat yang tepat, sehingga serangan bisa dilumpuhkan dengan cara yang efisien, relatif lebih aman dan tidak menguras tenaga. Tehnik ini di-kemudian hari di adopsi oleh Morihei Ueshiba ke dalam sistem pembelaan diri aikido, yang sekarang di kenal juga dengan nama irimi-nage dalam aikido.

Di banyak waza, tehnik pengaliran juga dipakai dalam terminologi serangan lontar (shomenuchi, yokomenuchi, tsuki), dan juga dibanyak jenis serangan pegang-renggut (morotetori, ryotetori, katatetori, ushiro-ryotetori, munadari, munakatadori) yang kemudian diberi finishing akhir dengan nage-waza, seperti kaiten-nage, kokkyu-nage, irimi-nage, juji-garami, sumi-otoshi, koshi-nage, men-nage.

Dua strategi ini sangat prinsip dalam tehnik aikido, sehingga warna keduanya kental sekali dalam aplikasi di banyak tehnik aikido. Namun begitu ada juga fondasi dasar lain dibalik kedua strategi tersebut, yang menentukan tingkat keberhasilan eksekusi setiap tehnik aikido, yakni faktor timing.

Faktor timing adalah faktor “waktu yang tepat” dalam masuk ke pertahanan penyerang (uke), saat yang tepat untuk mendapatkan kontak dengan bagian tubuh uke – atau terhadap anatomi serangan sekaligus, dan saat yang tepat untuk mengeksekusi serangan atau saat yang tepat untuk memberikan seberapa besar kekuatan pembela diri pada tehnik yang dieksekusinya.

Faktor timing ini bisa pula dianggap sebagai ritme, atau nada, atau ketukan (dalam musik) yang harus dimengerti oleh setiap praktisi aikido (ataupun praktisi bela diri pada umumnya), karena faktor timing juga sangat menentukan berhasil tidaknya eksekusi tehnik aikido, setelah seorang praktisi memahami gerak-gerak dasarnya. Sebagai gambaran, penari tidak akan bisa menari tanpa ritme yang baik, seornag penyanyi tidak bisa menyanyi dengan bagus tanpa ukuran nada dan ketukan tertentu, bahkan untuk berjalan kaki sekalipun orang harus menggunakan irama supaya bisa berjalan kaki dengan sempurna.

Untuk memahami faktor timing dalam tehnik aikido, seorang praktisi terlebih dahulu harus mengerti gerakan aikido yang dilatihnya, setidaknya bentuknya ia sudah paham benar. Sesudah itu, praktisi aikido juga harus mengerti ritme gerak tubuhnya sendiri sewaktu ia melakukan gerak-gerak aikido. Faktor timing (ritme) bisa dimulai untuk dikenali dari saat praktisi aikido melakukan senaman pemanasan waktu latihan -- aiki-taiso dimana terdapat banyak gerakan fundamental di dalam aiki-taiso ini yang menunjang gerakan-gerakan waza aikido, dan dilanjutkan ke pengenalan ritme semua tehnik aikido yang dilatih oleh si praktisi.

Setelah praktisi mengenali ritme dirinya sendiri, praktisi juga harus bisa membaca ritme gerakan partnernya (uke) dalam latihan, sehingga si praktisi bisa memadukan ritme gerakan serangan (yang dilakukan oleh uke) dan juga ritme tehnik pembelaan diri aikido yang dilakukan dirinya. Pemahaman ritme antara diri sendiri (nage) dan pertner berlatih (uke) ini secara hakikat di sebut dengan musubi ( seringkali musubi salah kaprah dipahami sebagai “kerja-sama” – meskipun tidak sepenuhnya salah).

Musubi secara harafiah diartikan sebagai “simpul tali” atau “menali simpul” antara dua tali. Secara makna lugas, apabila dua tali di talikan dengan sebuah simpul, maka bila satu ujung tali dihentak, maka efeknya akan sampai ke ujung tali yang lain – dimana dua ujung tali tersebut menjadi perwakilan simbolis daru nage dan uke. Sebagian besar praktisi aikido menafsirkan bahwa musubi adalah kerja-sama yang dilakukan antara nage dan uke dalam berlatih aikido. Kerjasama ini dianggap perlu supaya sebuah tehnik bisa dieksekusi dengan baik dan indah. Hal ini sangat perlu ketika seorang praktisi masih belajar aikido di awal ia belajar aikido. Namun begitu, kerjasama tersebut tidak menjadi dasar pemahaman musubi, apabila dikaitkan dengan fakta bahwa bela diri bukan sebuah fenomena yang terbatas di dalam dojo dimana uke “harus” bersedia menurut untuk diberi eksekusi, sehingga uke hanya mengikuti skenario tehnik. Bela diri secara ideal merupakan fenomena di dalam dojo, dan diluar dojo yang di dasari ideologi tertentu, yang didalam aikido adalah harmoni dan cinta kasih. Dalam kondisi nyata, seorang penyerang (bukan uke di dalam dojo) tidak akan mau di suruh menurut “kamu harus begini, ketika saya melakukan tehnik ini”. Penyerang bergerak menurut inisiatifnya sendiri, dengan pola ragam gerak yang tidak selalu sama, sperti yang terlihat dalam dojo. Oleh karena itu seorang praktisi aikido harus mengerti bagaimana membaca ritme penyerang, sehingga praktisi bisa menyesuaikan ritme pembelaan dirinya dengan ritme serangan yang ditujukan kepadanya. Musubi lebih bisa dimaknai cara memahami diri sendiri dan juga memahami penyerang, sehingga praktisi bela diri mampu bertindak dengan waktu yang tepat untuk mengeksekusi tehnik aikido, tentu dnegan tidak meninggalkan ideologi aikido (harmoni dan cinta kasih) dalam upaya pembelaan dirinya. Hal inilah yang kemudian di simulasi untuk di latih di dalam dojo. Musubi dalam aikido mengarahkan praktisi untuk mencapai kunci kemenanganan atas diri sendiri, yang mana O’sensei sendiri memberi arahan tentang masakatsu agatsu -- kemenangan atas diri sendiri, dengan memahami perilaku diri sendiri, praktisi juga akan mampu memahami perilaku orang lain – dalam sudut-pandang sempit tehnik; adalah pola serangan penyerang, dalam sudut-pandang yang lebih luas; adalah kejiwaan penyerang. Karena, apabila secara prinsip lagi antara tehnik serangan dan tehnik pembelaan diri di tarik akar motivasinya dari sudut pandang diri penyerang dan pembela diri, semua tehnik berasal dari mental (mind). Serangan berasal dari hasrat hati seseorang yang direalisasikan dari kondisi mental ke pulsa otak dan kemudian diwujudkan dalam bentuk serangan fisik melalui seluruh anggota tubuh sebagai alat serang. Maka, pembelaan diri pun di mulai dari sisi kejiwaan, mental pembela diri, yang kemudian di salurkan melalui seluruh anggota tubuh sebagai potensi pembelaan diri.



Pemahaman akan ritme diri sendiri oleh seorang praktisi membutuhkan ketenangan mental dan kondisi mental yang benar dalam berlatih aikido yang kuat. Ini sangat diperlukan, karena apabila kondisi kejiwaan seseorang tidak tenang, maka semua gerak tubuhnya juga kacau. Kondisi gerak fisik, koordinasi anggota tubuh di pengaruhi secara langsung dan tidka langsung oleh kondisi mental.

Oleh karena itu, di luar sisi aikido sebagai bela diri fisik yang berisi gerakan-gerakan tehnik bela diri taktis, aikido bisa menjadi potensial untuk meningkatkan kondisi mental seseorang.



3. Kesimpulan

Sebagai kesimpulan, prinsip tehnik aikido terbagi menjadi dua dasar: yakni prinsip ikkyo, atau prinsip pertama; yang melumpuhkan serangan ketika serangan belum meluncur penuh – dan yang kedua adalah prinsip mengalirkan serangan, arah dan tenaga serangan; yakni ketika serangan telah benar-benar meluncur secara penuh. Kedua prinsip tehnik tersebut di landasi dengan kemampuan membaca ritme, atau faktor timing; yakni waktu yang tepat untuk melakukan tindakan, karena dengan memahami faktor timing ini praktisi akan bisa melakukan musubi dalam seni bela diri aikido.



Data Up.load Oleh,

Robaga Gautama Simanjuntak

http://advokat-rgsmitra.com/

0 komentar: